PERAN MOTIVASI INTRINSIK DALAM PENGARUH KOMITMEN AFEKTIF DAN KOMPETENSI TERHADAP KINERJA KARYAWAN DISABILITAS

Annisa Rahmadani
12 min readFeb 3, 2021

--

Annisa Rahmadani

rahmadaniannisa21@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh komitmen afektif dan kompetensi terhadap kinerja karyawan dengan motivasi intrinsik sebagai variabel pemediasi. Penelitian dilakukan pada 82 karyawan disabilitas yang bekerja pada berbagai perusahaan di Indonesia yang menggunakan media kerjabilitas.com. Data dikumpulkan melalui survei dengan kuesioner yang didistribusikan secara online. Temuan menunjukkan ada peran mediasi motivasi intrinsik pada pengaruh komitmen afektif terhadap kinerja karyawan. Ditemukan juga kompetensi berpengaruh langsung terhadap kinerja tanpa dimediasi oleh motivasi intrinsik.

Kata Kunci: komitmen afektif, kompetensi, motivasi intrinsik, kinerjan.

PENDAHULUAN

Hak tentang penyandang disabilitas telah diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons With Disabilities (Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas) sebagai bentuk keseriusan Pemerintah Indonesia dalam memberikan perlindungan yang menyeluruh bagi penyandang disabilitas. Patut untuk diketahui bahwa orang dengan disabilitas rawan berada di garis kemiskinan. Dengan disabilitas yang dimilikinya tersebut, masyarakat cenderung melakukan diskriminasi, seperti misalnya membatasi pada akses pendidikan dan akses bekerja, adanya diskriminasi tersebut tentu saja akan semakin menyulitkan bagi para penyandang disabilitas untuk bisa hidup di luar garis kemiskinan (Rosdianti, 2017). Maka agar menjamin terpenuhinya hak penyandang disabilitas untuk bisa bekerja tersebut, pemerintah telah mengakomodirnya ke dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, di mana dalam Pasal 53 dimuat pernyataan bahwa adanya kewajiban bagi perusahaan swasta untuk mempekerjakan penyandang disabilitas dalam perusahaan paling sedikit 1% (satu persen) dari jumlah pegawai atau pekerjanya. Tidak hanya bagi perusahaan swasta, aturan tersebut juga diterapkan bagi Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah dengan ketentuan jumlah penyandang disabilitas yang dipekerjakan sedikitnya 2% (dua persen) dari jumlah pegawai atau pekerjanya.

Meskipun demikian penelitian yang mengukur aspek-aspek yang mempengaruhi kinerja karyawan dengan disabilitas jarang dilakukan. Hal ini penting karena bila penyebab kinerja diketahui maka perusahaan dapat memberikan perlakuan agar kinerja meningkat. Tentunya hasil peningkatan kinerja akan membuka kesempatan bagi perusahaan itu sendiri dalam menambah serapan tenaga kerja dengan disabilitas dalam komposisi ketenagakerjaannya. Keberhasilan perusahaan yang mempekerjakan karyawan disabilitas juga dapat memunculkan word of mouth dan publisitas sehigga menarik perusahaan lain untuk mempekerjakan tenaga kerja dengan disabiltitas pada perusahaan mereka. Penggunaan variabel kompetensi yang merupakan soft skill dan hard skill (Anjani, 2019) digunakan dalam penelitian ini. Harus dipahami bahwa disabilitas memiliki keterbatasan namun juga memiliki kelebihan dalam keterampilan tertentu yang memungkinkanya menyelesaikan tugas dengan baik. Penempatan pada posisi pekerjaan yang tepat sesuai kemampuannya menjadi strateginya. Komitmen afektif yang oleh Balassiano & Salles (2012) dinyatakan sebagai keadaan psikologis individu mengenai keinginannya untuk bertahan dalam perusahaan tempat mengabdi dikaji untuk melihat dampaknya terhadap kinerja. Komitmen afektif ditemukan dalam literatur terdahulu berpengaruh terhadap kinerja (Xiu, Dauner, & McIntosh, 2019) namun dalam pengujian seluruh dimensi sekaligus ditemukan tidak berpengaruh terhadap kinerja (Sriekaningsih & Setyadi, 2015). Ini menunjukkan ada gap riset yang menjadi kesempatan untuk menguji kembali pada setting yang berbeda dalam penelitian ini. Adapun motivasi internal yang merupakan kecenderungan alami manusia bahwa orang akan secara aktif berusaha melakukan hal-hal yang mereka anggap menarik atau menyenangkan dan agar berkembang lingkungan sosial harus memeliharanya (Legault, 2020) diuji sebagai pemediasi pada variabel prediktor kinerja karyawan.

LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

Komitmen Afektif

Komitmen afektif merupakan keterikatan seorang karyawan yang memiliki pengaruh positif pada perilaku, seperti keinginan meraih tujuan organisasi, tingginya tingkat perilaku keorganisasian, menurunnya tingkat absensi, dan turnover karyawan, serta mempengaruhi resistensi karyawan di sebuah organisasi atau perusahaan (Munajah & Purba, 2018). Mulyadi, Kamaluddin, & Maharani (2019) menyatakan bahwa komitmen afektif terjadi apabila karyawan merasa menjadi bagian dari perusahaan karena ada ikatan emosional (emotional attachment), berupa perasaan bahagia berada dalam organisasi, memiliki arti yang penting dan menjadi bagian dari keluarga dalam organisasi. Meyer, Becker, & Vandenberghe (2004) menjelaskan komitmen organisasional meliputi komitmen normatif, kontinuan, dan afektif. Komitmen afektif bertumbuh dengan baik karena individu terlibat dalam pekerjaan sehingga penguasaan keterampilan dan pengalaman baru membuatnya merasa puas (Meyer, Allen, & Smith, 1993). Komitmen afektif meliputi tanggungjawab, emosional, kepercayaan dan penerimaan atas organisasinya (Meyer et al., 1993).

Kompetensi

Anjani (2019) berpendapat kompetensi merupakan salah suatu kemampuan untuk melaksanakan suatu tugas atau pekerjaan yang dilandasi atas pengetahuan, keterampilan dan didukung oleh sikap kerja karyawan yang dituntut oleh pekerjaan mereka. Purwanto, Asbari, & Santoso (2019) mengatakan bahwa kompetensi lebih dekat pada kemampuan atau kapabilitas yang diterapkan dan menghasilkan pegawai yang menunjukkan kinerja yang tinggi. Dari dua pandangan diatas berarti kompetensi di perusahaan merujuk pada pengertian kecocokan seorang karyawan dengan pekerjaannya. Dijelaskan bahwa untuk memenuhi unsur kompetensi, seorang pegawai atau karyawan harus memenuhi unsur-unsur yaitu pengetahuan (knowledge), pemahaman, keterampilan, sikap (attitude) (Nikolaou, 2003). Sikap ini tidak dapat dipisahkan dari tugas seorang karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya dengan benar, ini merupakan salah satu elemen penting bagi usaha jasa atau layanan, bahkan juga memiliki pengaruh terhadap suatu citra perusahaan atau organisasi.

Motivasi Intrinsik

Motivasi merupakan elemen yang sangat penting untuk memperbaiki atau mengevaluasi produktivitas kerja, setiap karyawan perlu juga memiliki pengertian tentang bagaimana motivasi intrinsik berkaitan dengan kepuasan dan sistem penghargaan yang jelas. Memahami kepuasan kerja dan motivasi intrinsik dapat menjadi kunci dasar untuk memperbaiki atau mengevaluasi produktivitas kerja disuatu perusahaan (Puspitasari, 2019). Puspitasari (2019) menyatakan bahwa motivasi intrinsik sebagai salah suatu dorongan yang terdapat dalam diri seorang individu untuk melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu atau self-interest individu tersebut. Salah satu yang menjadi motivasi di dalam diri seseorang untuk bekerja adalah karena adanya kebutuhan pada dirinya sendiri, dan dimungkinkan setiap pribadi memiliki kebutuhan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Ganesan & Weitz (1996) menuliskan beberapa indikator motivasi intrinsik: 1) kebutuhan apresiasi, 2) kebutuhan tentangan tugas, 3) kebutuhan bekerja lebih baik, 4) kebutuhan bekerja sama, 5) kebutuhan terlibat dalam urusan penting organisasi, 6) kebutuhan untuk menjalin hubungan yang baik dengan rekan kerja, 7) kebutuhan mengikuti proses pengambilan keputusan, 8) kebutuhan untuk memberikan arahan, 9) kebutuhan untuk memimpin.

Kinerja Karyawan

Prestasi kerja merupakan salah satu faktor penting yang menjadi perhatian di bidang psikologi organisasi dan manajemen sumber daya manusia (Johari, Tan, & Zulkarnain, 2016). Prestasi kerja merupakan kemampuan individu untuk berhasil melaksanakan tugas menggunakan sumber daya yang tersedia di tempat kerja. Inayatullah & Jehangir (2012) menunjukkan bahwa kinerja seseorang ditentukan oleh tiga faktor yaitu lingkungan kerja, motivasi, dan kemampuan melakukan pekerjaan. Johari et al., (2016) menyatakan bahwa lingkungan kerja sangat kuat berdampak pada moral karyawan, produktivitas, dan kinerja pekerjaan. Jika lingkungan tempat kerja tidak disukai oleh karyawan, mereka akan kehilangan motivasi dan tingkat kinerja mereka akan menurun. Misalnya, pengaturan waktu kerja yang dirancang dengan buruk, otoritas atau tugas yang tidak sesuai, kurangnya penghargaan, dan kurangnya kesempatan pengambilan keputusan pribadi akan mengakibatkan ketidakpuasan di antara para karyawan. Kendala seperti itu akan menimbulkan tekanan pada karyawan, yang tentunya merugikan dan berdampak pada kinerja karyawan. Pradhan & Jena (2017) menyebutkan indikator kinerja meliputi kualitas, kuantitas, pelaksanaan, dan tanggungjawab kerja.

Pengembangan Hipotesis

Sriekaningsih & Setyadi (2015) menyatakan pada umumnya seseorang ingin memelihara atau mempererat hubungan dengan lingkungannya dengan tujuan untuk memenuhi motif intrinsik dan ekstrinsik untuk menjaga komitmennya di masa depan. Komitmen terkait dengan keinginan karyawan untuk memilih bertahan di dalam organisasi, dengan demikian karyawan yang sudah tidak memiliki komitmen maka kecil kemungkinan untuk termotivasi dalam bekerja secara baik dengan konsisten. Individu yang memiliki komitmen tinggi tidak akan melakukan penarikan diri atas kinerja meskipun sedang merasakan ketidakpuasan dibanding individu dengan komitmen rendah terhadap organisasinya (Robbins & Judge, 2013). Meyer, Becker, & Vandenberghe (2004) menjelaskan bahwa komitmen afektif penting karena dapat meningkatkan motivasi intrinsik karyawan yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja. Penelitian Farida et al. (2016) dan Murgianto, Sulasmi, & Suhermin (2016) menghasilkan adanya pengaruh positif komitmen organisasional terhadap motivasi.

H1: Komitmen afektif berpengaruh positif terhadap motivasi intrinsik karyawan.

Karyawan dengan kompetensi yang baik dan sesuai akan dapat memahami apa yang harus dilakukan dan apa pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya. Penguasaan yang baik terhadap fungsi dan kompetensi kerja yang menjadi tanggungjawabnya akan menumbuhkan motivasi yang tinggi untuk bekerja. Seorang karyawan dengan kompetensi intelektual yang tinggi akan melakukan pekerjaan dengan cepat karena memiliki kompetensi serta akan selalu termotivasi untuk melakukan pekerjaan dengan sebaik mungkin (Murgianto et al., 2016). Murgianto et al., (2016) menyatakan bahwa kompetensi karyawan membuat individu termotivasi untuk selalu berpikir dan terpacu dalam kaitan penyelesaian kerja dengan baik dikaitkan dalam pemanfaatan keterampilan dan kecakapan yang dikuasainya.

H2: Kompetensi berpengaruh positif terhadap motivasi intrinsik karyawan.

Karyawan yang merasakan dukungan organisasi yang lebih besar pada diri akan cenderung menunjukkan komitmen afektif kepada organisasi dan pada gilirannya akan meningkatkan komitmen afektif yang lebih besar dan berpengaruh pada kinerja pekerjaan yang lebih baik. Swalhi, Zgoulli, & Hofaidhllaoui, (2017) mengandaikan bahwa niat baik seorang karyawan dalam memberikan kontribusi kepada efektivitas organisasi dipengaruhi oleh sifat keterlibatan yang dirasakan. Karyawan yang memiliki komitmen afektif yang kuat menunjukkan upaya lebih dalam penyelesaian tugasnya. Chiu (2009) dan Xiu, Dauner, & McIntosh (2019) telah menunjukkan bahwa komitmen afektif berhubungan positif dengan kinerja. Dengan demikian individu yang mempunyai komitmen afektif pada organisasinya akan berupaya mencapai tujuannya khususnya pada kinerja tanggungjawabnya.

H3: Komitmen afektif berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan.

Manani & Ngui (2019) menjelaskan bahwa faktor kompetensi dapat mempengaruhi kinerja karyawan, karena dengan kemampuan yang tinggi maka kinerja pegawai pun akan tercapai. Sebaliknya, apabila kemampuan karyawan rendah atau tidak sesuai dengan keahliannya, maka kinerja yang diinginkan pun tidak akan tercapai. Anjani (2019) meyatakan kompetensi merupan salah satu kemampuan atau keterampilan untuk melaksanakan atau mengerjakan suatu pekerjaan yang dilandasi keterampilan dan pengetahuan yang didukung oleh sikap kerja yang dibutuhkan. Anjani (2019) serta Manani & Ngui (2019) menemukan kompetensi berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja karyawan.

H4: Kompetensi berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan.

Chien, Mao, Nergui, & Cha (2020) mendukung bahwa kinerja individu yang lebih tinggi merupakan dasar dari kinerja organisasi yang lebih tinggi. Motivasi memang membantu karyawan berkinerja lebih baik dan ini ditunjukkan secara luas bahwa kinerja individu berkontribusi pada kinerja organisasi. Meskipun Chien et al., (2020) mempelajari peran penting insentif keuangan sebagai motivator, penelitian ini memfokuskan pada motivasi internal. Motivasi internal diperoleh dari keterpenuhan kebutuhan karyawan dari pekerjaan itu sendiri. Bagaimana pekerjaan memenuhi kebutuhan apresiasi, tantangan tugas, kebutuhan bekerja dengan baik, kerjasama, keterlibatan dalam hal penting, dapat berhubungan dengan rekan kerja, partisipasi dalam pengambilan keputusan, kebutuhan memberi arahan dan memimpin (Ganesan & Weitz, 1996). Asim (2013) mengatakan motivasi artinya bergerak, kata bergerak tersebut berpengaruh dan mendorong pemenuhan untuk menjalankan kewajiban di organisasi. Tingkat motivasi secara langsung berhubungan positif dengan kinerja karyawan dan komitmen organisasi (Asim, 2013; Chien et al., 2020).

H5: Motivasi intrinsik berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan.

METODE PENELITIAN

Populasi dalam penelitian ini adalah pengguna media lowongan kerja online (Kerjabilitas.com) bagi penyandang disabilitas usia produktif yang telah ditempatkan pada perusahaan di seluruh Indonesia. Kerjabilitas.com adalah layanan berbasis website dan aplikasi yang bertujuan mendukung penempatan kerja inklusi bagi penyandang disabilitas. Sejumlah 103 pegawai dikirimi kuesioner secara online oleh peneliti melalui aplikasi Google Form. Sebanyak 82 responden mengembalikan kuesioner dan data dapat diolah lebih lanjut. Pengukuran variabel menggunakan kuesioner baku dengan sumber komitmen afekfif dari Meyer, Allen, & Smith (1993), kompetensi dari Nikolaou (2003), motivasi intrinsik dari Ganesan & Weitz (1996), dan kinerja karyawan dari Pradhan & Jena (2017).

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Item uji validitas dikatakan valid jika nilai r hitung ≥ r tabel (0.1829). Pengujian menghasilkan r hitung Komitmen Afektif (KA) (0.273 s.d. 0.642), Kompetensi (K) (0.240 s.d. 0.547), Motivasi Intrinsik (MI) (0.246 s.d. 0.457), dan Kinerja Karyawan (KK) (0.228 s.d. 0.476) > 0.1829. Nilai Cronbach’s Alpha Stand. komitmen afektif (0.680), kompetensi (0.746), motivasi intrinsik (0.673), dan kinerja karyawan (0.676)> 0.6 atau instrumen reliabel.

Tabel 1. Karakterisktik Responden

Sumber: data yang diolah,2020

Karakteristik responden (Tabel 1) dalam penelitian ini menunjukkan responden laki-laki (62%) lebih banyak dibandingkan perempuan (38%). Mayoritas responden berusia 20–30 tahun (39%), sedangkan berdasar tingkat pendidikan terakhir, mayoritas adalah lulusan SLTA/sederajat (37%) diikuti lulusan SLTP/sederajat (34%). Sebagian besar responden telah menikah (65%) dan mayoritas menyatakan pernah mengikuti pelatihan kerja < 3 kali dalam 1 tahun terakhir (77%).

Tabel 2. Hasil Asumsi Klasik

Sumber: data yang diolah, 2020

Hasil uji asumsi klasik (Tabel 2) menunjukkan tidak terjadi heteroskedastisitas (Glejser test, p > 0.05), dan normalitas juga terpenuhi (Kolmogorov-Smirnov test, Asymp. Sig. > 0.05). Multikolonieritas tidak terjadi pada model regresi dengan tolerance >0.10 dan VIF <10.

Tabel 3. Hasil Pengujian Hipotesis

Sumber: data yang diolah,2020

Tabel 3 menunjukkan hasil uji hipotesis. Dilihat dari tabel tersebut, pengujian H1 diterima dengan nilai sig.<0.05, H2 tidak diterima nilai sig.>0.05, Besarnya pengaruh komitmen afektif, dan kompetensi terhadap motivasi intrinsik adalah sebesar 38.6%. H3 ditolak dengan sig.>0.05, H4 & H5 diterima dengan nilai sig.<0.05. Besarnya pengaruh komitmen afektif, kompetensi, dan motivasi intrinsik terhadap kinerja karyawan adalah sebesar 81.5%.

Uji Sobel Tes

Gambar 1. Hasil Sobel Test Komitmen Afektif

Hasil perhitungan Sobel test (Gambar 1) menunjukkan nilai one tailed probability sebesar 0.000 dengan tingkat signifikansi 5%, dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa 0.000 < 0.05 yang membuktikan bahwa variabel motivasi intrinsik memediasi pengaruh komitmen afektif terhadap kinerja karyawan.

Gambar 2. Hasil Sobel Test 1 Kompetensi

Hasil perhitungan Sobel test (Gambar 2) menunjukkan nilai one tailed probability sebesar 0.076 dengan tingkat signifikansi 5%, dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa 0.076 > 0.05 jadi dapat dinyatakan motivasi intrinsik tidak memediasi pengaruh kompetensi terhadap kinerja karyawan.

PEMBAHASAN

Hipotesis pertama diterima, komitmen afektif dapat meningkatkan motivasi intrinsik yang dimiliki karyawan di organisasi. Komitmen afektif pada karyawan menjadi bentuk sikap yang merekfleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dimana karyawan mengekspresikan perhatiannya terhadap kesuksesan organisasi serta nama baik organisasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Meyer et al. (2004) demikian juga hasil penelitian Farida et al. (2016) yang menyatakan bahwa komitmen afektif berpengaruh positif dan signifikan terhadap motivasi intrinsik.

Hasil uji hipotesis kedua menunjukkan kompetensi tidak berpengaruh signifikan terhadap motivasi intrinsik. Penelitian ini tidak mendukung temuan penelitian Murgianto et al. (2016) bahwa kompetensi memiliki hubungan positif dan signifikan terhadap motivasi intrinsik. Meningkatnya kompetensi pada diri karyawan akan meningkatkan motivasi yang timbul dari dalam diri karyawan untuk kemajuan organisasi, namun ternyata tidak terjadi pada penelitian ini. Indikator keterampilan untuk bekerjasama (rerata= 3.56), dan memahami tujuan pekerjaan (rerata= 3.71) meskipun sebagai dua nilai terendah sudah diatas 3.00 namun kompetensi tidak mempengaruhi motivasi intrinsik.

Pengujian hipotesis ketiga menunjukkan bahwa komitmen afektif tidak berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Hasil ini tidak sesuai dengan temuan penelitian Xiu et al. (2019). Selain karena ada variabel lain yang lebih mempengaruhi kinerja karyawan, masa kerja karyawan yang tidak didata pada riset ini diduga menjadi alasannya, karena kuesioner didistribusikan pada pengguna kerjabilitas.com yaitu media penempatan tenaga kerja, diduga masih ada karyawan disabilitas yang belum cukup lama dan masih membutuhkan waktu untuk memiliki ikatan emosional dengan organisasinya. Sebanyak 77% karyawan disabilitas dalam waktu 1 tahun terakhir merasa telah mendapat pelatihan kerja selama di organisasi. Perusahaan dapat mempertimbangkan membangun komitmen organisiasi melalui pelatihan kerja agar karyawan dapat terikat dengan perusahaan karena merasa dikembangkan dan diperhatikan kebutuhannya untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan pekerjaan. Temuan ini mengkonfirmasi hasil riset dari Sriekaningsih & Setyadi (2015) bahwa kinerja fakultas tidak dipengaruhi komitmen organisasi pegawainya.

Pengujian hipotesis keempat menunjukkan terdapat pengaruh yang positif dan signifikan dari kompetensi terhadap kinerja karyawan. Bila karyawan memiliki pengetahuan, pemahaman, kerampilan, dan sikap bergerak kearah positif, maka akan meningkatkan kinerja atas tanggungjawabnya di organisasi. Temuan mengkonfirmasi Anjani (2019), serta Manani & Ngui (2019) yang menyatakan kompetensi secara langsung berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Kompetensi merupakan hal mendasar yang harus dimiliki untuk dapat menyelesaikan pekerjaan, individu dengan kapabalitas yang tidak memadai terhadap tuntutan tugasnya akan menghasilkan kinerja yang kurang dibanding yang memiliki kesesuaian. (Chiu, 2009) menegaskan bahwa individu yang kompeten dalam perusahaan dapat berkinerja tinggi bila memiliki keterampilan yang diperlukan, dan kemampuan untuk mengekspresikan ide-idenya.

Hipotesis kelima diterima, yang artinya motivasi intrinsik berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja. Karyawan disabilitas dengan motivasi internal yang diperoleh dari pekerjaan itu sendiri, seperti turut berpartisipasi dan tugas yang menantang serta memimpin akan mengarahkan dirinya secara positif pada pencapain kinerja. Dengan demikian bagaimana perusahaan mengatur agar pekerjaan yang diberikan memenuhi kebutuhan apresiasik tantangan, kerjasama, keterlibatan, dan keinginan memimpin penting dilakukan. Penelitian ini sesuai dengan penelitian terdahulu dari Asim (2013) dan Chien et al., (2020).

Hasil pengujian Sobel test berhasil membuktikan pentingnya kehadiran motivasi intrinsik dalam menjembatani pengaruh komitmen afektif terhadap kinerja karyawan. Komitmen afektif tidak dengan sendirinya mampu menghasilkan penyelesaian tugas, dorongan internal individu memainkan peran untuk memicu penyempurnaan hasil kerja. Ini mengkonfirmasi pengaruh komitmen afektif terhadap motivasi intrinsik Murgianto et al. (2016) dan pengaruh motivasi intrinsik terhadap kinerja Chien et al., (2020). Namun demikian pengujian ke dua tidak menunjukkan hal yang sama, kompentensi untuk berpengaruh terhadap kinerja tidak perlu dimediasi oleh motivasi internal, kompetensi dapat memengaruhi pencapaian hasil kinerja secara langsung (Manani & Ngui, 2019).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Penelitian menghasilkan temuan adanya mediasi motivasi internal pada pengaruh komitmen afektif terhadap kinerja karyawan. Perusahaan diharapkan meningkatkan dan mempertahankan implementasi komitmen afektif dan motivasi internal yang telah dilakukan selama ini dalam kegiatan sehari-hari karena terbukti meningkatkan kinerja karyawan. Penerimaan karyawan disabilitas dalam lingkungan kerja melalui perhatian dan kepekaan akan kebutuhannya merupakan hal yang penting dalam menghadirkan komitmen afektif.

Temuan menunjukkan motivasi internal tidak memediasi pengaruh kompentensi terhadap kinerja, ini terjadi karena kompetensi berpengaruh langsung terhadap kinerja. Sebagai implikasinya, perusahaan dapat memberikan pelatihan dan pengembangan bagi karyawan disabilitas secara periodik sesuai kebutuhan, kegiatan tersebut akan memperkuat kompetensi dan konsekuensinya akan meningkatkan kinerja.

Penelitian ke depan dapat menyertakan variabel tambahan misalnya kepemimpinan transaksional (Ulfah, Subiyanto, & Kurniawan, 2020) atau bentuk kepemimpinan transformasional untuk meningkatkan koefisien determinasi dari anteseden motivasi internal yang masih rendah.

--

--